Artikel terbaru kami

Pemanfaatan UAV Berbasis Kecerdasan Buatan (AI) untuk Pemantauan Kesehatan Hutan Eucalyptus sp.

Tanaman Eucalyptus sp. merupakan salah satu jenis tanaman HTI utama yang saat ini banyak di kembangkan sebagai bahan baku dalam industri pulp and paper. Kegiatan budidaya tanaman ini tentunya memiliki kendala, salah satunya merupakan serangan hama dan penyakit pada tanaman. Keberadaan hama dan penyakit dapat mengganggu kegiatan budidaya karena akan menyebabkan gangguan hingga kematian pada tanaman budidaya. Selain itu, biaya tambahan yang harus dikeluarkan dalam proses pengendalian hama dan penyakit juga menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, Penting dilakukan kegiatan monitoring terhadap kondisi tanaman secara berkala guna mengetahui kondisi tanaman dan menjadi deteksi dini ketika terdapat gangguan hama maupun penyakit pada tanaman sebelum menjadi semakin parah. Namun, monitoring kondisi tanaman secara konvensional dengan observasi lapang manual saat ini kurang efektif terutama pada luasan lahan yang sangat luas sehingga diperlukan sebuah inovasi berupa mekanisasi dalam kegiatan ini. Integrasi Unmanned Aerial Vehicles (UAV) dengan teknologi Kecerdasan Buatan (AI) menjadi terobosan signifikan dalam pemantauan kesehatan hutan, khususnya dalam mengidentifikasi dan mendeteksi hama serta penyakit. Penggunaan sensor kamera RGB, multispektral, dan hiperspektral yang terpasang pada UAV mampu menangkap data visual resolusi tinggi dalam cakupan area yang luas serta sulit diakses. Data ini kemudian diproses oleh sistem AI untuk menghilangkan noise, menyesuaikan pencahayaan, dan menghasilkan gambar yang siap dianalisis lebih lanjut. Model pembelajaran mesin dengan menggunakan Convolutional Neural Networks (CNN) AI dapat mengidentifikasi kondisi tanaman, membedakan antara tanaman sehat dan yang terinfeksi serta mendeteksi penyebab gangguan seperti infestasi hama.  Penggunaan UAV memungkinkan diperoleh data yang kemudian dapat dilakukanan analisis 3D berbasis fotogrametri structure from motion (SfM) guna menciptakan peta tiga dimensi yang memberikan data penting tentang struktur kanopi, kepadatan, dan tinggi pohon yang berperan dalam memonitor kesehatan tanaman Eucalyptus sp. secara lebih rinci. Selain itu, teknologi AI memungkinkan analisis prediktif dengan memanfaatkan data historis dan real-time untuk memprediksi potensi risiko, seperti penyebaran hama atau dampak perubahan iklim. Hasil pemantauan ini disajikan melalui dasbor interaktif yang memudahkan pemangku kepentingan dalam membuat keputusan berbasis data secara tepat waktu. Inovasi UAV berbasis AI ini mendukung keberlanjutan dan efisiensi dalam manajemen hutan Eucalyptus sp.  sekaligus memperkuat ketahanan ekosistem hutan dalam menghadapi dinamika perubahan lingkungan. REFERENSI Ecke S, Dempewolf J, Frey Julian, Schwaller A, Andres E, Klemmt HJ, Tiede D, Seifert T. 2022. UAV-Based forest health monitoring: A Systematic Review. Journal MDPI : remote sensing 14 (13) : 1-45.

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Sifat-Sifat Tanah

Kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu peristiwa terbakarnya hutan dan lahan, baik secara alami maupun oleh perbuatan manusia, sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan politik (Nurhayati dan Yusup 2019). Penyebab kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Menurut Syaufina (2017), kebakaran hutan dan lahan di Indonesia hampir 100% disebabkan oleh faktor manusia, baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Faktor manusia yang sering mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan salah satunya adalah perilaku pembukaan lahan dengan pembakaran tidak terkendali. Hal tersebut sesuai dengan penelitian Wulandari dan Fitriasari (2022) yang menyatakan, kegiatan ladang berpindah sangat erat kaitannya dengan membuka lahan untuk pertanian dengan menggunakan cara membakar untuk membersihkan lahan dan menyuburkan tanah yang dilakukan oleh para petani tradisional dalam suatu komunitas tertentu. Persepsi masyarakat melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar adalah karena biaya yang digunakan sangat murah, hasil dari sisa pembakaran dapat menyuburkan tanah, tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak saat membakar, dan cara ini sudah merupakan tradisi yang dilakukan secara turun temurun (Bangun dan Megawati 2017). Tradisi pembakaran tersebut akan berdampak jangka panjang terhadap kualitas suatu tanah, yang akan mengganggu sifat-sifat penyusun tanah.  Sifat-sifat utama penyusun tanah terdiri dari sifat fisik tanah, sifat kimia tanah, dan sifat biologi tanah. Sifat fisik tanah terdiri dari warna tanah, suhu tanah, bulk density, porositas, struktur tanah, dan tekstur tanah. Berdasarkan penelitian (Murtinah et al. 2017), dampak kebakaran terhadap sifat fisik tanah terutama disebabkan oleh terbukanya tajuk, humus, dan serasah ikut terbakar, struktur tanah memburuk dan akhirnya rentan terhadap erosi. Pengaruh kebakaran terhadap sifat fisik tanah akan jelas tampak pada perubahan tekstur tanah, kerapatan lindak (bulk density), porositas dan permeabilitas. Hasil yang didapat dari sifat fisik tanah pasca kebakaran adalah meningkatnya bulk density, penurunan porositas dan permeabilitas tanah serta tekstur tanah dengan fraksi pasir lebih dominan. Lebih rendahnya nilai porositas tanah pada areal bekas terbakar terjadi karena dipengaruhi oleh peningkatan kepadatan tanah (peningkatan nilai BD) akibat terbakarnya serasah dan bahan organik yang menimbulkan pengembangan koloid-koloid tanah yang mempersempit dan mengurangi jumlah ruang pori dalam tanah.  Beberapa karakteristik dari sifat kimia tanah adalah dinilai dari pH tanah, c-organik tanah, N-total, KTK, dan parameter unsur kimia lainnya (Margolang et al. 2014). Hasil dari penelitian (Wibowo et al. 2024), sifat kimia tanah pada areal bekas terbakar menunjukkan nilai Ph, Mg, dan Ca yang tinggi namun diikuti penurunan pada c-organik tanah. Karakteristik sifat biologi tanah dapat dinilai dari respirasi tanah, mikroorganisme tanah, mesofauna dan makrofauna. Pada sifat biologi tanah, kebakaran hutan menyebabkan perubahan terhadap ekosistem tanah yang mengandung berbagai jenis mikroba yang berbeda-beda. Dengan mengetahui jumlah dan aktivitas mikroba di dalam suatu tanah dapat diketahui apakah tanah tersebut termasuk subur atau tidak karena populasi mikroba yang tinggi menunjukkan adanya suplai makanan yang cukup, suhu yang sesuai, ketersediaan air yang cukup dan kondisi ekologi tanah mendukung perkembangan mikroba (Sinaga et al. 2015).   Referensi Bangun R, Megawati R. 2017. Persepsi masyarakat dalam membuka lahan dan faktor pemicu kebakaran lahan Provinsi Riau. Jurnal Kebijakan Pembangunan dan Inovasi. 3(1): 60-73. Margolang RDMRD, Jamilah J, Sembiring M. 2014. Karakteristik beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi tanah pada sistem pertanian organik. Jurnal Agroekoteknologi Universitas Sumatera Utara. 3(2): 104-544. Murtinah V, Edwin M, Bane O. 2017. Dampak kebakaran hutan terhadap sifat fisik dan kimia tanah di Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur. Jurnal Pertanian Terpadu. 5(2): 128-139. Nurhayati AD dan Yusup A. 2019. Penyebab kebakaran hutan di kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat, Jawa Barat. Jurnal Silvikultur Tropika. 10(3):173-177. Sinaga AH, Elfiati D, Delvian D. 2015. Aktivitas mikroorganisme tanah pada tanah bekas kebakaran hutan di Kabupaten Samosir. Peronema Forestry Science Journal. 4(1): 60-66. Syaufina L. 2017. Metode Penilaian Areal Pasca Kebakaran Hutan. Bogor: IPB Press. Wibowo FAC, Waskitho NT, Prasetyo B, Wahidiah T. 2024. Dampak Pasca Kebakaran Hutan terhadap Sifat Fisik dan Sifat Kimia Tanah di Gunung Panderman: Post Forest Fire Impact on Physical and Chemical Properties of Soil at Mount Panderman. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 21(1): 36-47. Wulandari E, Fitriasari ET. 2022. Meta-analisis faktor pendorong aktivitas antropogenik terhadap karakteristik kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia. Kaganga: Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora. 5(1): 50-67.

Smart Agroforestry (SAF) dalam Mendukung Mitigasi dan Perubahan Iklim

Hilangnya tutupan lahan akibat konversi hutan pemukiman, perkebunan, pertanian, dan kebutuhan untuk pembangunan sektor lain telah menyebabkan terjadinya perubahan cuaca maupun iklim di berbagai tempat. Perubahan iklim merupakan berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi, antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia (Gernowo et al. 2012). Perubahan fisik ini tidak hanya terjadi secara sesaat, tetapi dalam kurun waktu yang panjang. Perubahan iklim ini dapat dicegah dengan melakukan upaya mitigasi dan pencegahan. Salah satu pola tanam yang dapat digunakan untuk memitigasi terjadinya perubahan iklim adalah sistem agroforestri. Dalam sudut pandang perubahan iklim, hutan pada sistem agroforestri dapat berperan baik dalam sink (penyerap/penyimpan) karbon maupun source (pengemisi) karbon. Agroforestri adalah praktik pengolahan lahan dengan tanaman sela atau semusim yang ditanam sekitar atau di antara barisan pohon (Abdulai et al. 2018). Pohon menciptakan iklim mikro yang dapat mengurangi suhu, menjaga kelembaban, dan meningkatkan nitrogen. Sistem agroforestri memberikan opsi untuk mengurangi perubahan iklim dengan cara peningkatan hasil panen dan memberikan manfaat lingkungan seperti adaptasi perubahan iklim (Coulibaly et al. 2017).  Gambar 1 Siklus nutrisi pada sistem agroforestri Sumber: Octavia et al.  (2023) Smart Agroforestry (SAF) diyakini sebagai salah satu solusi alternatif dalam penerapan pengelolaan hutan lestari untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. SAF menyediakan pengetahuan dan praktik pertanian dan silvikultur yang bertujuan tidak hanya untuk memulihkan kondisi lingkungan, termasuk mitigasi dan perubahan iklim, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Contoh penerapan sistem agroforestri yang dapat menjadi upaya adaptasi dan pencegahan perubahan iklim adalah sistem agroforestri berbasis sengon dengan padi gogo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem agroforestri berpengaruh nyata terhadap produktivitas panen padi Gogo dan serangan cendawan Rhizoctonia sp. Sistem agroforestri berbasis sengon dan padi Gogo mempengaruhi pertumbuhan sengon, yaitu dengan pertumbuhan sengon yang lebih baik dibandingkan sistem monokultur (Ningrum et al. 2019).    Daftar Pustaka Abdulai I, Jassogne L, Graefe S, Asare R, Van Asten P, Läderach P, Vaast P. 2018. Characterization of cocoa production , income diversification and shade tree management along a climate gradient in Ghana. PLoS One 13, 1–17. Coulibaly JY, Chiputwa B, Nakelse T, Kundhlande G. 2017. Adoption of agroforestri and the impact on household food security among farmers in Malawi. Agric. Syst. 155, 52–69. Gernowo R, Adi K, Arifin Z. 2012. Studi awal dampak perubahan iklim berbasis analisis variabilitas CO2 dan curah hujan (studi kasus; Semarang Jawa Tengah. Berkala Fisika. 15(4): 101-104. Ningrum DKB, Wijayanto N, Wulandari AS. 2019. Pertumbuhan sengon dan produksi padi gogo pada taraf pemupukan P yang berbeda dalam sistem agroforestri. Jurnal Silvikultur Tropika. 10(1): 1–6.  Octavia D, Murniati, Suharti S, Hani A, Mindawati N, Suratman, Faubiany V. 2023. Smart agroforestry for sustaining soil fertility and community livelihood. Forest Science and Technology. 19(4): 315-328. Created by: Agroforestry Group

Cochineal: Inovasi Pewarna dari Serangga, Halal atau Tidak?

Kutu daun cochineal merupakan serangga dari ordo Hemiptera dan famili Dactylopidae dengan nama latin Dactylopius coccus. Cochineal adalah jenis serangga yang biasanya hidup di permukaan tanaman kaktus dan memperoleh kelembaban serta nutrisi dari tanaman yang mereka tinggali. Cochineal memiliki karakteristik yang menarik, salah satunya adalah darahnya yang tidak mengalir seperti pada kebanyakan hewan lainnya. Serangga Cochineal memberikan nuansa warna merah terang yang sering digunakan untuk memberi warna pada berbagai jenis produk makanan dan minuman. Zat warna ini dikenal dengan nama karmin atau asam karminat. Asam karminat dihasilkan oleh serangga Cochineal betina karena asam karminat terletak pada hemolimfa dan telurnya.  Gambar 1 Serangga Cochineal (Sumber: invertebratewelfare) Betina cochineal memiliki panjang tubuh sekitar 6 mm, lebar 4,5 mm, dan tingginya 4 mm. Betina cochineal mampu menghasilkan asam karminat lebih banyak dibandingkan serangga cochineal jantan. Diperkirakan, satu individu serangga betina cochineal dapat menghasilkan sekitar 18-20% asam karminat lebih banyak dibandingkan satu individu jantan (Odelia 2021). Contoh penggunaan zat karmin yang diperoleh dari serangga cochineal adalah permen, minuman ringan, yogurt, es krim, dan produk-produk lainnya (Nadha 2021).  Salah satu penggunaan cochineal sebagai pewarna minuman adalah pada susu UHT strawberry. Terdapat pro dan kontra mengenai penggunaan serangga cochineal sebagai pewarna dalam makanan dan minuman. Beberapa pendapat mengatakan makanan atau minuman yang mengandung cochineal haram, dan beberapa mengatakan halal. Menurut fatwa MUI nomor 33 tahun 2011 menetapkan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga Cochineal hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan. Telah banyak diteliti bahwa zat karmin pada serangga cochineal memiliki manfaat selain daya tarik visual, yaitu mampu meningkatkan nilai gizi karena mengandung antosianin, sebagai pewarna makanan yang aman dikonsumsi, dan mampu menjaga kualitas produk.   Sumber:  Fatwa Majelis Ulama Indonesia No 33 Tahun 2011 Tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal. Nadha C. 2021. Mengenal Karmin Pewarna dari Serangga. Diakses 4 November 2024. https://halalmui.org/mengenal-karmin-pewarna-dari-serangga/ Odelia S. 2021. Pewarna Merah Alami Dalam Pangan Dari Kutu. Diakses 4 November 2024. https://student-activity.binus.ac.id/himfoodtech/2021/06/pewarna-merah-alami-dalam-pangan-dari-kutu/ Created by: Entomology Group

Evolusi Dormansi Benih

Dormansi benih dapat didefinisikan sebagai penghalang intrinsik untuk menyelesaikan perkecambahan benih walaupun benih dalam kondisi yang mendukung perkecambahan (misalnya suhu, kelembaban, cahaya sesuai). Dormansi benih mengontrol waktu perkecambahan sebagai respons terhadap kondisi dan perubahan musim/iklim serta memainkan peran penting dalam evolusi benih tanaman. Waktu perkecambahan sangat mempengaruhi laju dimana spesies dapat memperluas jangkauan/penyebaran mereka dan memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup atau kepunahan selama perubahan iklim (Donohue 2005). Penelitian Baskin dan Baskin (2004), telah mengusulkan sistem klasifikasi ekofisiologi komprehensif untuk dormansi benih yang meliputi lima kelas: fisiologis (PD), morfologis (MD), morfofisiologis (MPD), fisik (PY) dan kombinasional (PY+PD).  Dormansi morfologis (MD) dapat terlihat jelas pada benih dengan ukuran embrio yang relatif kecil dibandingkan dengan ukuran seluruh benih (Gambar 1). Hal ini ditunjukkan dari rasio embrio terhadap biji (Rasio E:S) yang menggambarkan ukuran relatif embrio di dalam benih. Rasio E:S yang tinggi (misalnya 0,9) menunjukkan embrio mengisi sebagian besar volume benih, sedangkan rasio E : S yang rendah (misalnya 0,1) menunjukkan embrio kecil dan jaringan penyimpanan nutrisi mengisi sebagian besar volume benih (Gambar 1). Pada Angiospermae jaringan nutrisi terdapat pada perisperm dan endosperm, sedangkan Gymnospermae terdapat pada megagametofit. Benih dengan rasio E:S yang rendah seringkali memiliki waktu perkecambahan yang lama (>1 bulan). Gambar 1 Contoh perbedaan ukuran embrio dengan ukuran keseluruhan benih pada biji  (A) Thalictrum polygamum (Ranunculaceae). (B) Ruta graveolens (Rutaceae). EM (embrio); EN (endosperma); SC (kulit biji); CO (kotiledon) (Sumber: Forbis et al. 2002). Angiospermae dan Gymnospermae mengalami tren evolusi peningkatan ukuran embrio. Dalam penelitian Forbis et al. (2002), dilakukan rekonstruksi keadaan leluhur dari karakter kontinu 179 famili (dari 1222 spesies angiospermae yang masih hidup) dengan menggunakan Rasio E:S. Hasil analisis mereka (Gambar 2) menunjukkan bahwa Rasio E:S meningkat pada keturunan angiospermae dibandingkan dengan nenek moyang angiospermae. Fenomena ini juga terlihat pada gymnospermae (Gambar 3), nenek moyangnya memiliki rasio ukuran embrio yang kecil saat awal penyebaran kemudian mengalami peningkatan ukuran embrio di keturunannya (Conifers, Cycads, Ginkgos, Gnetales dll.). Cycad dan ginkgo, memiliki embrio yang lebih kecil daripada beberapa taksa gymnospermae lain, seperti Callitropsis, Picea, Pinus dan Juniperus. Dari keseluruhan informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa dormansi morfologi adalah tipe dormansi leluhur di antara gymnospermae dan angiospermae. Evolusi lebih besar ukuran embrio kemungkinan besar mengakibatkan terjadinya non-dorman pada biji, sehingga embrio tidak perlu tumbuh sebelum berkecambah. Peningkatan ukuran relatif embrio juga menjadi salah satunya penentu utama (atau persyaratan) untuk evolusi kelas dormansi benih lainnya (Finch-Savage dan Leubner Metzger 2006). Gambar 2  Dua skenario alternatif untuk perubahan perkembangan morfologi embrio antara spesies angiospermae leluhur hipotesis dan spesies angiospermae turunan hipotesis. A) permulaan perkembangan (pembuahan); B) perimbangan perkembangan (penyebaran biji) (Sumber: Forbis et al. 2002). Gambar 3 Rekonstruksi nenek moyang gymnospermae bersamaan dengan nilai kuadrat terkecil (GSL) yang menyatakan rasio embrio dan biji. Analisis dilakukan pada semua cabang dengan angka-angka pada simpul mewakili nilai E:S dan angka dalam tanda kurung mewakili nilai kesalahan standar (Sumber: Forbis et al. 2002). Dormansi Fisiologis (PD) adalah jenis dormansi yang paling melimpah dan ditemukan pada benih semua kelompok gymnospermae dan angiospermae (Gambar 4). PD dibagi menjadi beberapa jenis dengan bentuk yang paling umum pada angiospermae dan gymnospermae adalah PD nondeep. PD nondeep terjadi karena faktor fisiologis pada embrio dan/atau  mantel benih (Holdsworth et al. 2008). Dormansi mantel benih dimediasi oleh salah satu lapisan penutup (endosperma dan ⁄ atau testa). Asam absisat (ABA) mengatur PD nondeep yang dimediasi oleh mantel pada benih baik gymnospermae maupun angiospermae (Kucera et al. 2005). Gymnospermae dan angiospermae memiliki kesamaan mekanisme molekuler terkait ABA. Faktor transkripsi yang berhubungan dengan ABA (ABA13/VP1) tersebar luas di antara tanaman hijau dan terlibat dalam mengatur dormansi benih dan tunas angiosperma dan gymnospermae. Ketergantungan ABA adalah sifat plesiomorfik untuk angiospermae dan gymnospermae (Graeber et al. 2009). Embrio yang dipotong dari biji PD nondeep akan berkecambah secara normal dan perlakuan dengan giberelin (GA) juga akan mematahkan dormansi. Selain itu, tergantung pada spesiesnya, dormansi dapat dipatahkan dengan skarifikasi (pengikisan atau pemotongan lapisan penutup), pematangan (periode penyimpanan kering udara), stratifikasi hangat atau dingin.   Daftar Pustaka Baskin JM, Baskin CC. 2004. A classification system for seed dormancy. Seed Science Research. 14: 1-16. Donohue K. 2005. Niche construction through phenological plasticity: life history dynamics and ecological consequences. New Phytologist. 166: 83-92. Finch-Savage WE, Leubner-Metzger G. 2006. Seed dormancy and the control of germination. New Phytologist. 171: 501-523. Forbis TA, Floyd SK, deQueiroz A. 2002. The evolution of embryo size in angiosperms and other seed plants: implications for the evolution of seed dormancy. Evolution. 56: 2112-2125. Graeber K, Linkies A, Muller K, Wunchova A, Rott A, Leubner-Metzger G. 2010. Cross-species approaches to seed dormancy and germination: conservation and biodiversity of ABA-regulated mechanisms and the Brassicaceae DOG1 genes. Plant Molecular Biology. 73: 67-87. Holdsworth MJ, Bentsink L, Soppe WJJ. 2008. Molecular networks regulating Arabidopsis seed maturation, after-ripening, dormancy and germination. New Phytologist. 179: 33-54. Kucera B, Cohn MA, Leubner-Metzger G. 2005. Plant hormone interactions during seed dormancy release and germination. Seed Science Research. 15: 281-307. Linkies A, Graeber K, Knight C, Leubner‐Metzger G. 2010. The evolution of seeds. New Phytologist. 186(4): 817-831. Created by: Seedling Group

Lithocarpus tapanuliensis: Spesies Pohon Baru yang Bermakna bagi Orangutan

Sumatera memiliki keanekaragaman flora yang menarik banyak perhatian selama dekade terakhir dengan berbagai spesies tanaman. Terdapat penemuan terbaru terkait spesies pohon baru yang ditemukan di Sumatera Utara. Spesies pohon yang baru ditemukan termasuk ke dalam genus Lithocarpus yang merupakan genus terbesar dalam famili Fagaceae. Umumnya, genus ini ditemukan di seluruh Sumatera pada berbagai habitat dari hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan.  Spesies pohon yang baru ditemukan adalah Lithocarpus tapanuliensis. Spesies ini ditemukan di bagian utara Sumatera tepatnya di hutan Batang Toru, Sumatera Utara. Lithocarpus tapanuliensis ini memiliki karakteristik seperti tinggi hingga 35 m dengan kulit kayu kasar dan bagian dalamnya berwarna merah tua membentuk celah memanjang. Lithocarpus tapanuliensis memiliki nama daerah yaitu hoteng yang diambil dari nama daerah jenisnya yakni Tapanuli, Sumatera Utara.  Gambar 1 Pohon Lithocarpus tapanuliensis (Sumber: Harapan et al. 2023) Lithocarpus tapanuliensis adalah salah satu jenis pohon ek. Pohon ini ternyata sangat bermanfaat bagi keberadaan orangutan Tapanuli. Sayangnya, jenis pohon ini tergolong kritis (Critically endanagered) karena hanya dua individu yang tercatat di bagian kecil tapanuli selatan khususnya pada sistem ekosistem Batang Boru. Hutan Barang Boru menjadi tempat perlindungan bagi orangutan Tapanuli. Terlebih lagi orangutan Tapanuli  sangat terancam keberadaannya dan sangat langka. Orang utan memiliki tempat tinggal yang bersebelahan dengan Lithocarpus tapanuliensis. Orangutan Tapanuli mengkonsumsi sisa-sisa biji pohon Lithocarpus tapanuliensis.  Adanya sarang dan sisa makanan yang dikonsumsi oleh orangutan Tapanuli menunjukkan adanya interaksinya dengan pohon Lithocarpus tapanuliensis. Famili Fagaceae seperti Lithocarpus tapanuliensis menjadi sumber makanan bukan hanya bagi orangutan Tapanuli, tetapi juga bagi banyak spesies. Hal ini seharusnya menjamin perlindungan dan konservasi bagi famili Fagaceae karena bermanfaat tidak hanya bagi orangutan Tapanuli tetapi juga spesies yang lainnya.   Sumber :  Harapan TS, Tan WH, Febriamansyah TA, Nurainas, Syamsuardi, Strijk JS. 2023.  Lithocarpus tapanuliensis (Fagaceae), a new stone oak from northern Sumatra and its role as an important resource for critically endangered orangutans. PhytoKeys. 234: 167-179. Created by: Tree Species Group

HARI HUTAN NASIONAL: “JAGA HUTAN, JAGA IKLIM” PERINGATI HARI HUTAN NASIONAL

       Sejak tahun 2017, Hari Hutan Indonesia kerap kali diperingati setiap tanggal 7 Agustus tiap tahunnya. “Jaga Hutan, Jaga Iklim” menjadi tema yang diangkat dalam peringatan Hari Hutan Nasional 2024 dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat Indonesia akan pentingnya hutan sebagai kunci dalam mengatasi adanya permasalahan terkait perubahan iklim.        Indonesia merupakan salah satu negara pemilik kawasan hutan terluas di dunia dengan adanya keanekaragaman hayati yang tinggi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, hutan Indonesia meliputi daratan seluas 125,76 hektare atau setara dengan 62,97% dari total luas daratan Indonesia. Namun, menjadi fakta bahwa saat ini kawasan hutan Indonesia semakin menurun, terutama akibat hilangnya rasa tanggung jawab manusia. Sementara itu, hutan berperan besar dalam aksi mitigasi terjadinya perubahan iklim. Hutan berkontribusi pada siklus karbon global, yakni menyerap (mengabsorbsi) karbon dari atmosfer dalam proses fotosintesis. Keberadaan hutan akan membuat kondisi iklim yang lebih nyaman.         Disisi lain, Indonesia sebagai salah satu negara dengan hutan terluas juga berusaha menekan terjadinya penurunan luas hutan untuk mencegah peningkatan emisi, salah satunya dengan berperan dalam forum global terkait implementasi REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus Conservation). Namun untuk meningkatkan keberhasilan yang lebih efektif dan efisien dalam melindungi kawasan hutan, diperlukan kerjasama dan kesadaran yang penuh antara berbagai pihak termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.  

PPK Ormawa Tree Grower Community (TGC) IPB Gelar Lokakarya untuk Pengembangan Desa Ciasihan Menjadi Inisiasi Desa Sentra Akar Wangi

Tim Program Penguatan Kapasitas (PPK) Ormawa Tree Grower Community (TGC) IPB menyelenggarakan lokakarya dengan sub-topik "Desa Hutan" di Desa Ciasihan pada Selasa, 9 Juli 2024. Lokakarya merupakan salah satu rangkaian kegiatan PPK Ormawa yang dilaksanakan oleh Tim PPK Ormawa TGC IPB, bertujuan memaparkan rencana program pengabdian di Desa Ciasihan. Lokakarya pertama ini berlangsung di Balai Rakyat Aula Desa Ciasihan dan dihadiri oleh Kepala Desa beserta perangkatnya, kelompok tani hutan, destana, serta tokoh masyarakat dan pemuda setempat. Melalui lokakarya tersebut diharapkan masyarakat paham akan tujuan adanya program yang akan dilaksanakan di Desa Ciasihan yakni bertujuan mengoptimalkan potensi Desa Ciasihan yang terletak di kaki Gunung Halimun Salak dengan luas lahan produktifnya. Kepala Desa Ciasihan, Ibu Lilih N, S.IP, meresmikan kegiatan ini secara simbolik dan menyatakan dukungan penuh dan harapan besar terhadap program ini. “Kegiatan PPK Ormawa TGC yang diusung oleh mahasiswa Silvikultur ini sangat kami apresiasi dan dukung. Kami akan memfasilitasi penyediaan lahan percontohan, tempat kegiatan, hingga tempat tinggal mahasiswa selama di desa. Harapannya, Desa Ciasihan bisa menjadi desa percontohan dalam pengolahan tanaman penghasil minyak atsiri,” ujar Kepala Desa Ciasihan. M. Rizki Hadi Pratama selaku ketua pelaksana menyampaikan bahwa Desa Ciasihan memiliki potensi besar yang harus dioptimalkan, terutama dengan ide dan gagasan dari mahasiswa IPB sebagai institusi pendidikan terdekat. Oleh karena itu, tim PPK Ormawa TGC menyusun tiga program utama yaitu Sekolah Rimbawan, Desa Tangguh Wangi, dan Desa Rimba Wangi. Program ini mencakup budidaya, penanaman, perawatan, pemanfaatan, dan pengolahan akar wangi menjadi produk turunan, serta pendekatan agroforestri dalam penanaman. “Desa Ciasihan memiliki potensi besar, terutama kawasan hutan dengan lahan produktif yang luas. Tanaman seperti akar wangi sangat cocok ditanam di sini, tanpa menghilangkan komoditas unggulan lainnya. Pada tahap awal ini, kami menginisiasi lahan percontohan,” ujar M. Rizki Hadi. Akar wangi adalah contoh tanaman yang berpotensial untuk dijadikan produk pertanian yang bernilai jual tinggi. Akar wangi juga salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia yang berpotensial. Lufthi Rusniansyah, S.P., M.Si, dosen pendamping Tim PPK Ormawa TGC IPB, menyatakan bahwa kegiatan ini bukan hanya untuk penguatan ormawa, tetapi juga sebagai media pembelajaran bagi mahasiswa untuk mempraktekkan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan. “Harapannya, kegiatan ini dapat berjalan lancar dan bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya. Kegiatan PPK Ormawa juga mendapat sambutan hangat dari RW/RT dan masyarakat Desa Ciasihan. “Kami masyarakat Desa Ciasihan, terutama anak-anak muda, sangat mendukung dan menyambut baik kegiatan ini,” ujar perwakilan RW, Pak Komar. Harapannya, kegiatan PPK Ormawa ini dapat menjadi media pembelajaran dalam penguatan kapasitas ormawa serta adaptasi bermasyarakat dalam mengimplementasikan keilmuan dari kampus IPB, khususnya Departemen Silvikultur. Melalui kegiatan ini, IPB berkontribusi dalam pengembangan kapasitas masyarakat Desa Ciasihan dan desa-desa di sekitar kampus, serta menjadi wadah kolaborasi yang baik antara akademisi, pemerintah, dan pihak terkait.

HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA: DEFORESTASI DAN MASA DEPAN BUMI, SEBUAH REFLEKSI

Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1973 oleh United Nations Environment Programme (UNEP). Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 mengusung tema Land restoration, desertification and drought resilience dengan slogan “Our land. Our future. We are #GenerationRestoration”. Restorasi lahan merupakan pilar utama dari UN Decade on Ecosystem Restoration (2021-2030), sebuah seruan untuk melindungi dan menghidupkan kembali ekosistem di seluruh dunia yang sangat penting untuk mencapai SDGs. Our Land, Our Future? Slogan ini tampaknya tak berarti apapun jika kita menilik permasalahan yang sedang terjadi di daerah timur negeri ini. Hutan adat Awyu dan Moi di Papua telah berubah menjadi perkebunan sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah. Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) untuk melakukan konversi lahan seluas 36.094 hektar di hutan adat suku Awyu. Sementara itu, suku Moi menghadapi PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektar hutan adat suku Moi untuk perkebunan sawit. Masyarakat adat merasa kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, dan warisan budaya mereka akibat konversi ini.  Aksi Masyarakat Adat Masyarakat adat Awyu dan Moi menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung pada 27 Mei lalu dengan mengenakan pakaian tradisional dan mengadakan ritual adat serta doa. Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan konversi hutan adat menjadi kebun sawit dan mengembalikan hak mereka. Pejuang lingkungan hidup suku Awyu sebelumnya telah menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena memberikan izin kepada PT. IAL. Namun, gugatan tersebut kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua sehingga kasasi di MA menjadi harapan terakhir untuk melindungi hutan adat Papua. Sebetulnya, sudah menjadi komitmen bagi pemerintah untuk melindungi masyarakat hukum adat menggunakan payung hukum dengan seadil-adilnya. Berdasarkan aturan mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat merupakan tugas dan wewenang yang perlu dipenuhi oleh pemerintah. Namun nyatanya, yang terjadi saat ini jauh dari menghormati dan melindungi hak-hak dasar masyarakat hukum adat, khususnya masyarakat adat Awyu dan Moi yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan.  Dampak Konversi Lahan Hutan Pada dasarnya, prinsip pengelolaan hutan dilakukan dengan memerhatikan keseimbangan aspek ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, termasuk di hutan adat. Namun adanya kegiatan konversi lahan melalui pembabatan hutan oleh beberapa perusahaan di hutan adat Papua justru bertentangan dengan prinsip yang ada. Tak hanya berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat adat sekitar, berubahnya fungsi hutan secara langsung berdampak pada kondisi ekologis dunia. Akibat terjadi penurunan lahan hutan, kemampuan hutan dalam menyerap gas rumah kaca akan berkurang sehingga dapat meningkatkan isu perubahan iklim global. Selain itu, dampak lain dari adanya konversi lahan menyebabkan terancamnya keanekaragaman hayati yang ada. All Eyes on Papua Penting bagi seluruh kalangan masyarakat untuk sadar betapa seriusnya isu yang terjadi pada saat ini. Hutan adat tak hanya menjadi kepemilikan bagi masyarakat adat, namun tanggung jawab bagi kita semua. Mempertahankan hutan dari keserakahan adalah bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan sesama. Oleh karena itu, mari dukung aksi masyarakat adat Papua dengan ikut bersuara dan menandatangani petisi berikut. https://www.change.org/p/hutan-seluas-separuh-jakarta-akan-hilang-mahkamah-agung-cabut-izin-sawit-pt-ial 

FOREST TO DATE SERIES 3 THE UNTOLD : KONFLIK DI GARIS BATAS HUTAN MANGROVE YANG MEMILIKI POTENSI SIMPANAN KARBON

Sejauh ini Perubahan   fungsi   lahan   dan   iklim   telah menimbulkan  kekhawatiran  yang  terus  berlanjut tidak  hanya  di  Indonesia  tetapi  juga  di  seluruh dunia.  Meningkatnya  emisi  gas  rumah  kaca  di atmosfer   adalah   penyebab   perubahan   iklim. Pemanasan  global  disebabkan oleh  meningkatnya kadar gas rumah kaca seperti N2O, CH4, dan CO2 (IPCC, 2022). Hutan menyimpan gas CO2 dalam berbagai bentuk yaitu tegakan, seresah dan salah satunya tanah. Cadangan  karbon  organik  terestrial  terbesar ditemukan  di  tanah,  yang  memiliki  kandungan karbon organik global sekitar 2.344 Gt (1 Gigaton = 1 miliar ton). Ketika hutan fungsi hutan dikonversi menjadi lahan lain, karbon dilepaskan dan lahan kehilangan potensinya untuk menyimpan karbon. Terjadinya perubahan alih lahan hutan termasuk pada kawasan hutan mangrove yang berperan menjadi kunci mitigasi perubahan iklim, yakni salah satu pemilik potensi simpanan karbon terbesar. Berdasarkan Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA), wilayah hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan sebesar 50% pada kurun waktu 3 dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh aktivitas manusia yang meliputi pembangunan pantai, pertanian, dan lainnya.  Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mampu mereduksi CO2 melalui mekanisme “sekuistrasi” yaitu penyerapan karbon dari atmosfer dan penyimpanannya dalam beberapa kompartemen seperti tumbuhan, serasah dan materi organik tanah (Hairiah dan Rahayu 2007). Di Indonesia, hasil riset peneliti CIFOR menunjukkan bahwa meskipun hutan mangrove hanya memiliki luas 0,7% dari luasan hutan, akan tetapi potensi simpanan karbon pada kawasan mangrove sendiri berada pada angka 10% dari semua emisi (Rahmah et al. 2015). Sehingga umumnya dapat dikatakan bahwa potensi simpanan karbon pada hutan mangrove lebih besar dibandingkan pada hutan tropis. Oleh karena itu, pelestarian hutan mangrove menjadi sangat penting dilakukan dalam mitigasi perubahan iklim global.  Kegiatan pembibitan, penanaman dan pemantauan mangrove dapat menjadi solusi dalam memitigasi krisis perubahan iklim. Sebagai upaya untuk mendukung kelestarian hutan mangrove, pada tanggal 26 Mei 2024 lalu, Himpunan Profesi Tree Grower Community telah melaksanakan kegiatan ‘Aksi Mangrove’ yang berlokasi di Taman Ekowisata Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara. Dengan menyiapkan total 300 bibit mangrove dan melibatkan 57 relawan, kegiatan ini berhasil menciptakan dampak positif dalam upaya pelestarian hutan mangrove. Bibit mangrove ditanam dengan cermat pada area yang telah dipilih untuk memaksimalkan pertumbuhannya. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan dampak jangka panjang dalam mengurangi emisi karbon dan meningkatkan ketahanan lingkungan setempat terhadap perubahan iklim. Selain itu, kegiatan Aksi Mangrove dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keberlangsungan ekosistem mangrove sebagai habitat berbagai jenis flora dan fauna dan sebagai rekonstruksi lahan mangrove yang telah rusak serta sebagai benteng alami melawan abrasi pantai.