Artikel terbaru kami

HARI HUTAN NASIONAL: “JAGA HUTAN, JAGA IKLIM” PERINGATI HARI HUTAN NASIONAL

       Sejak tahun 2017, Hari Hutan Indonesia kerap kali diperingati setiap tanggal 7 Agustus tiap tahunnya. “Jaga Hutan, Jaga Iklim” menjadi tema yang diangkat dalam peringatan Hari Hutan Nasional 2024 dengan harapan dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat Indonesia akan pentingnya hutan sebagai kunci dalam mengatasi adanya permasalahan terkait perubahan iklim.        Indonesia merupakan salah satu negara pemilik kawasan hutan terluas di dunia dengan adanya keanekaragaman hayati yang tinggi. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, hutan Indonesia meliputi daratan seluas 125,76 hektare atau setara dengan 62,97% dari total luas daratan Indonesia. Namun, menjadi fakta bahwa saat ini kawasan hutan Indonesia semakin menurun, terutama akibat hilangnya rasa tanggung jawab manusia. Sementara itu, hutan berperan besar dalam aksi mitigasi terjadinya perubahan iklim. Hutan berkontribusi pada siklus karbon global, yakni menyerap (mengabsorbsi) karbon dari atmosfer dalam proses fotosintesis. Keberadaan hutan akan membuat kondisi iklim yang lebih nyaman.         Disisi lain, Indonesia sebagai salah satu negara dengan hutan terluas juga berusaha menekan terjadinya penurunan luas hutan untuk mencegah peningkatan emisi, salah satunya dengan berperan dalam forum global terkait implementasi REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus Conservation). Namun untuk meningkatkan keberhasilan yang lebih efektif dan efisien dalam melindungi kawasan hutan, diperlukan kerjasama dan kesadaran yang penuh antara berbagai pihak termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat.  

PPK Ormawa Tree Grower Community (TGC) IPB Gelar Lokakarya untuk Pengembangan Desa Ciasihan Menjadi Inisiasi Desa Sentra Akar Wangi

Tim Program Penguatan Kapasitas (PPK) Ormawa Tree Grower Community (TGC) IPB menyelenggarakan lokakarya dengan sub-topik "Desa Hutan" di Desa Ciasihan pada Selasa, 9 Juli 2024. Lokakarya merupakan salah satu rangkaian kegiatan PPK Ormawa yang dilaksanakan oleh Tim PPK Ormawa TGC IPB, bertujuan memaparkan rencana program pengabdian di Desa Ciasihan. Lokakarya pertama ini berlangsung di Balai Rakyat Aula Desa Ciasihan dan dihadiri oleh Kepala Desa beserta perangkatnya, kelompok tani hutan, destana, serta tokoh masyarakat dan pemuda setempat. Melalui lokakarya tersebut diharapkan masyarakat paham akan tujuan adanya program yang akan dilaksanakan di Desa Ciasihan yakni bertujuan mengoptimalkan potensi Desa Ciasihan yang terletak di kaki Gunung Halimun Salak dengan luas lahan produktifnya. Kepala Desa Ciasihan, Ibu Lilih N, S.IP, meresmikan kegiatan ini secara simbolik dan menyatakan dukungan penuh dan harapan besar terhadap program ini. “Kegiatan PPK Ormawa TGC yang diusung oleh mahasiswa Silvikultur ini sangat kami apresiasi dan dukung. Kami akan memfasilitasi penyediaan lahan percontohan, tempat kegiatan, hingga tempat tinggal mahasiswa selama di desa. Harapannya, Desa Ciasihan bisa menjadi desa percontohan dalam pengolahan tanaman penghasil minyak atsiri,” ujar Kepala Desa Ciasihan. M. Rizki Hadi Pratama selaku ketua pelaksana menyampaikan bahwa Desa Ciasihan memiliki potensi besar yang harus dioptimalkan, terutama dengan ide dan gagasan dari mahasiswa IPB sebagai institusi pendidikan terdekat. Oleh karena itu, tim PPK Ormawa TGC menyusun tiga program utama yaitu Sekolah Rimbawan, Desa Tangguh Wangi, dan Desa Rimba Wangi. Program ini mencakup budidaya, penanaman, perawatan, pemanfaatan, dan pengolahan akar wangi menjadi produk turunan, serta pendekatan agroforestri dalam penanaman. “Desa Ciasihan memiliki potensi besar, terutama kawasan hutan dengan lahan produktif yang luas. Tanaman seperti akar wangi sangat cocok ditanam di sini, tanpa menghilangkan komoditas unggulan lainnya. Pada tahap awal ini, kami menginisiasi lahan percontohan,” ujar M. Rizki Hadi. Akar wangi adalah contoh tanaman yang berpotensial untuk dijadikan produk pertanian yang bernilai jual tinggi. Akar wangi juga salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia yang berpotensial. Lufthi Rusniansyah, S.P., M.Si, dosen pendamping Tim PPK Ormawa TGC IPB, menyatakan bahwa kegiatan ini bukan hanya untuk penguatan ormawa, tetapi juga sebagai media pembelajaran bagi mahasiswa untuk mempraktekkan ilmu yang diperoleh selama perkuliahan. “Harapannya, kegiatan ini dapat berjalan lancar dan bermanfaat bagi masyarakat,” ujarnya. Kegiatan PPK Ormawa juga mendapat sambutan hangat dari RW/RT dan masyarakat Desa Ciasihan. “Kami masyarakat Desa Ciasihan, terutama anak-anak muda, sangat mendukung dan menyambut baik kegiatan ini,” ujar perwakilan RW, Pak Komar. Harapannya, kegiatan PPK Ormawa ini dapat menjadi media pembelajaran dalam penguatan kapasitas ormawa serta adaptasi bermasyarakat dalam mengimplementasikan keilmuan dari kampus IPB, khususnya Departemen Silvikultur. Melalui kegiatan ini, IPB berkontribusi dalam pengembangan kapasitas masyarakat Desa Ciasihan dan desa-desa di sekitar kampus, serta menjadi wadah kolaborasi yang baik antara akademisi, pemerintah, dan pihak terkait.

HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA: DEFORESTASI DAN MASA DEPAN BUMI, SEBUAH REFLEKSI

Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1973 oleh United Nations Environment Programme (UNEP). Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 mengusung tema Land restoration, desertification and drought resilience dengan slogan “Our land. Our future. We are #GenerationRestoration”. Restorasi lahan merupakan pilar utama dari UN Decade on Ecosystem Restoration (2021-2030), sebuah seruan untuk melindungi dan menghidupkan kembali ekosistem di seluruh dunia yang sangat penting untuk mencapai SDGs. Our Land, Our Future? Slogan ini tampaknya tak berarti apapun jika kita menilik permasalahan yang sedang terjadi di daerah timur negeri ini. Hutan adat Awyu dan Moi di Papua telah berubah menjadi perkebunan sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah. Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) untuk melakukan konversi lahan seluas 36.094 hektar di hutan adat suku Awyu. Sementara itu, suku Moi menghadapi PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektar hutan adat suku Moi untuk perkebunan sawit. Masyarakat adat merasa kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, dan warisan budaya mereka akibat konversi ini.  Aksi Masyarakat Adat Masyarakat adat Awyu dan Moi menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung pada 27 Mei lalu dengan mengenakan pakaian tradisional dan mengadakan ritual adat serta doa. Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan konversi hutan adat menjadi kebun sawit dan mengembalikan hak mereka. Pejuang lingkungan hidup suku Awyu sebelumnya telah menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena memberikan izin kepada PT. IAL. Namun, gugatan tersebut kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua sehingga kasasi di MA menjadi harapan terakhir untuk melindungi hutan adat Papua. Sebetulnya, sudah menjadi komitmen bagi pemerintah untuk melindungi masyarakat hukum adat menggunakan payung hukum dengan seadil-adilnya. Berdasarkan aturan mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat merupakan tugas dan wewenang yang perlu dipenuhi oleh pemerintah. Namun nyatanya, yang terjadi saat ini jauh dari menghormati dan melindungi hak-hak dasar masyarakat hukum adat, khususnya masyarakat adat Awyu dan Moi yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan.  Dampak Konversi Lahan Hutan Pada dasarnya, prinsip pengelolaan hutan dilakukan dengan memerhatikan keseimbangan aspek ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, termasuk di hutan adat. Namun adanya kegiatan konversi lahan melalui pembabatan hutan oleh beberapa perusahaan di hutan adat Papua justru bertentangan dengan prinsip yang ada. Tak hanya berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat adat sekitar, berubahnya fungsi hutan secara langsung berdampak pada kondisi ekologis dunia. Akibat terjadi penurunan lahan hutan, kemampuan hutan dalam menyerap gas rumah kaca akan berkurang sehingga dapat meningkatkan isu perubahan iklim global. Selain itu, dampak lain dari adanya konversi lahan menyebabkan terancamnya keanekaragaman hayati yang ada. All Eyes on Papua Penting bagi seluruh kalangan masyarakat untuk sadar betapa seriusnya isu yang terjadi pada saat ini. Hutan adat tak hanya menjadi kepemilikan bagi masyarakat adat, namun tanggung jawab bagi kita semua. Mempertahankan hutan dari keserakahan adalah bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan sesama. Oleh karena itu, mari dukung aksi masyarakat adat Papua dengan ikut bersuara dan menandatangani petisi berikut. https://www.change.org/p/hutan-seluas-separuh-jakarta-akan-hilang-mahkamah-agung-cabut-izin-sawit-pt-ial 

FOREST TO DATE SERIES 3 THE UNTOLD : KONFLIK DI GARIS BATAS HUTAN MANGROVE YANG MEMILIKI POTENSI SIMPANAN KARBON

Sejauh ini Perubahan   fungsi   lahan   dan   iklim   telah menimbulkan  kekhawatiran  yang  terus  berlanjut tidak  hanya  di  Indonesia  tetapi  juga  di  seluruh dunia.  Meningkatnya  emisi  gas  rumah  kaca  di atmosfer   adalah   penyebab   perubahan   iklim. Pemanasan  global  disebabkan oleh  meningkatnya kadar gas rumah kaca seperti N2O, CH4, dan CO2 (IPCC, 2022). Hutan menyimpan gas CO2 dalam berbagai bentuk yaitu tegakan, seresah dan salah satunya tanah. Cadangan  karbon  organik  terestrial  terbesar ditemukan  di  tanah,  yang  memiliki  kandungan karbon organik global sekitar 2.344 Gt (1 Gigaton = 1 miliar ton). Ketika hutan fungsi hutan dikonversi menjadi lahan lain, karbon dilepaskan dan lahan kehilangan potensinya untuk menyimpan karbon. Terjadinya perubahan alih lahan hutan termasuk pada kawasan hutan mangrove yang berperan menjadi kunci mitigasi perubahan iklim, yakni salah satu pemilik potensi simpanan karbon terbesar. Berdasarkan Mangrove Ecosystem Restoration Alliance (MERA), wilayah hutan mangrove di Indonesia mengalami penurunan sebesar 50% pada kurun waktu 3 dekade terakhir. Hal ini disebabkan oleh aktivitas manusia yang meliputi pembangunan pantai, pertanian, dan lainnya.  Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem yang mampu mereduksi CO2 melalui mekanisme “sekuistrasi” yaitu penyerapan karbon dari atmosfer dan penyimpanannya dalam beberapa kompartemen seperti tumbuhan, serasah dan materi organik tanah (Hairiah dan Rahayu 2007). Di Indonesia, hasil riset peneliti CIFOR menunjukkan bahwa meskipun hutan mangrove hanya memiliki luas 0,7% dari luasan hutan, akan tetapi potensi simpanan karbon pada kawasan mangrove sendiri berada pada angka 10% dari semua emisi (Rahmah et al. 2015). Sehingga umumnya dapat dikatakan bahwa potensi simpanan karbon pada hutan mangrove lebih besar dibandingkan pada hutan tropis. Oleh karena itu, pelestarian hutan mangrove menjadi sangat penting dilakukan dalam mitigasi perubahan iklim global.  Kegiatan pembibitan, penanaman dan pemantauan mangrove dapat menjadi solusi dalam memitigasi krisis perubahan iklim. Sebagai upaya untuk mendukung kelestarian hutan mangrove, pada tanggal 26 Mei 2024 lalu, Himpunan Profesi Tree Grower Community telah melaksanakan kegiatan ‘Aksi Mangrove’ yang berlokasi di Taman Ekowisata Pantai Indah Kapuk Jakarta Utara. Dengan menyiapkan total 300 bibit mangrove dan melibatkan 57 relawan, kegiatan ini berhasil menciptakan dampak positif dalam upaya pelestarian hutan mangrove. Bibit mangrove ditanam dengan cermat pada area yang telah dipilih untuk memaksimalkan pertumbuhannya. Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan dampak jangka panjang dalam mengurangi emisi karbon dan meningkatkan ketahanan lingkungan setempat terhadap perubahan iklim. Selain itu, kegiatan Aksi Mangrove dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keberlangsungan ekosistem mangrove sebagai habitat berbagai jenis flora dan fauna dan sebagai rekonstruksi lahan mangrove yang telah rusak serta sebagai benteng alami melawan abrasi pantai.

FOREST TO DATE SERIES 2: “MENELISIK KEBIJAKAN EUDR (European Union Deforestation-free Regulations) DI INDONESIA”

Laju deforestasi global masih sangat tinggi. Menurunnya tutupan pohon hampir di seluruh wilayah di dunia ini merupakan suatu hal yang penting. Berdasarkan data WWF pada tahun 2017, Uni Eropa bertanggung jawab atas 16% deforestasi tropis yaitu terkait perdagangan internasional, dengan luas total 203.000 hektar dan 116 juta ton karbon – lebih banyak dari India (9%), Amerika Serikat (7%). Luas lahan yang mengalami deforestasi di Eropa menimbulkan emisi karbon yang disebabkan oleh konsumsi dan produksi komoditas ekspansi pertanian paling sedikit 32 juta metrik ton per tahun. Uni Eropa sebagai tempat perputaran pasar internasional terbesar dunia, menyumbang 10% deforestasi global yang bersumber dari konsumsi dan rantai pasok barang (Trent 2023), oleh karena itu Komisi Uni Eropa melakukan langkah prerogatif sebagai solusi dalam mencegah deforestasi dengan mengajukan usulan proposal European Union Deforestation-free Regulations atau EUDR. European Union Deforestation-free Regulations atau disingkat EUDR sendiri merupakan kebijakan perpanjangan dari sejumlah kebijakan pendahulunya yang menggagas kepedulian Uni Eropa yang didorong oleh masyarakat negara anggotanya yang mulai mendesak untuk pengambilan tindakan atas emisi gas rumah kaca yang semakin meningkat utamanya akibat konsumsi yang tinggi oleh Uni Eropa diikuti dengan tidak efektifnya kebijakan dan upaya yang telah diberlakukan di ranah global tidak terlalu berdampak utamanya dalam menghentikan deforestasi, perubahan struktural tutupan hutan, dan kelangkaan flora dan fauna. Tujuannya ialah untuk meningkatkan kontribusi Uni Eropa untuk mengurangi deforestasi, perubahan struktural tutupan hutan, sambil mendorong kesadaran atas hak asasi manusia dan kelompok pribumi, regulasi ini akan memastikan komoditas yang akan beredar di pasar Uni Eropa memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Benang Merah Kebijakan EUDR Salah satu tujuan yang berusaha diwujudkan oleh Uni Eropa adalah mewujudkan dunia yang melindungi keberlanjutan ekosistem. Hal tersebut menjadi dasar bagi Uni Eropa untuk menganggap bahwa industri kelapa sawit berperan dalam deforestasi hutan tropis, yang tentunya tidak selaras dengan tujuan SDGS mengenai keberlanjutan ekosistem. Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar, mengkritik keras akan kebijakan ini. Langkah yang dilakukan Uni Eropa ini merupakan langkah yang akan mampu mengurangi pasar minyak kelapa sawit sehingga menjadi hambatan bagi produksi dan perdagangan minyak kelapa sawit (Pratama 2019). Negara-negara produsen minyak kelapa sawit lainnya juga merasa khawatir kehilangan pasar komoditasnya, tak terkecuali Indonesia yang sangat mengandalkan kelapa sawit sebagai sumber devisa terbesar negara. Dilihat dari segi keberlanjutan lingkungan, deforestasi di Indonesia untuk perkebunan kelapa sawit pada kenyataannya memiliki banyak masalah yang merugikan masyarakat Indonesia. Pembaruan data yang bersumber dari KLHK menyatakan bahwa deforestasi Indonesia pada tahun 2020-2021 adalah sebesar 113,5 ribu ha, hal ini diiringi dengan luas perkebunan kelapa sawit yang terus meningkat. Pada tahun 2021 luas areal kelapa sawit perkebunan Indonesia adalah 14.621.693 ha. Luas ini meningkat sekitar 5.489.397 ha atau 60% dalam sepuluh tahun sejak 2011 silam (Jannetta et al. 2024). Industri kelapa sawit memang sangat menguntungkan bagi Indonesia, namun tak bisa dipungkiri bahwa deforestasi untuk industri ini juga menghilangkan kekayaan alam serta mengurangi area penyangga ekosistem di Indonesia. Maka dari itu kebijakan EUDR dianggap dapat mengatasi deforestasi yang disebabkan oleh perluasan lahan yang digunakan untuk memproduksi komunitas tersebut. Meskipun begitu Indonesia merasa keberatan akan diberlakukannya kebijakan ini, mengingat regulasi ini berdampak sangat besar dalam pembatasan-pembatasan masuknya komoditas kehutanan dan pertanian yang akan masuk ke dalam pasar Uni Eropa serta akan menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi Indonesia. Di sisi lain konsistensi Uni Eropa terhadap SDGS perlu kembali diperhatikan apabila hanya berfokus pada lingkungan dan tidak memperhatikan aspek lainnya seperti pemberantasan kemiskinan. Industri kelapa sawit di Indonesia sebagai sumber devisa terbesar tentunya juga berpengaruh dalam memberantas kemiskinan di Indonesia, sehingga dengan adanya kebijakan EUDR yang membatasi masuknya komoditi ini dapat berakibat pada berkurangnya lapangan pekerjaan petani sawit yang didominasi swadaya masyarakat.

FOREST TO DATE SERIES 1: “DOKTER HUTAN MENDIAGNOSIS KESEHATAN HUTAN”

FOREST TO DATE SERIES 1: " DOKTER HUTAN MENDIAGNOSIS KESEHATAN HUTAN" Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Pasal 1 ayat (1), hutan adalah ekosistem berupa kesatuan dinamis antara makhluk hidup dan lingkungannya yang meliputi hutan alam, hutan buatan, serta hutan produksi. Hutan dapat didiagnosis sehat/sakit. Sederhananya, menurut Safe’i et al. (2018) berdasarkan penelitiannya bahwa hutan yang sehat akan dapat memenuhi fungsinya sebagaimana fungsi utama yang telah diharapkan sebelumnya yaitu fungsi produksi, lindung dan konservasi. Hutan yang sehat dapat dicirikan dengan kesehatan pohon-pohon penyusun tegakannya. Pohon dikatakan sehat apabila pohon tersebut dapat melaksanakan fungsi fisiologisnya, mempunyai ketahanan ekologi yang tinggi terhadap gangguan hama serta faktor luar lainnya (Yunasfi 2002). Sebaliknya, dikatakan tidak sehat apabila pohon yang secara struktural mengalami kerusakan baik secara keseluruhan ataupun sebagian pohon. Kerusakan pohon pada batas tertentu dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pohon dalam hutan yang secara keseluruhan dapat mempengaruhi kesehatan hutannya. Bagaimana cara kita mengukur kesehatan hutan? Sebuah metode yang dapat mengukur kesehatan hutan ialah dengan metode Forest Health Monitoring (FHM) atau Pemantauan kesehatan hutan. Sejarah singkatnya, Program FHM pertama kali dilaksanakan pada tahun 1992 oleh USDA-FS (United States Development Agency-Forest Service) bekerjasama dengan US-EPA (United States-Environmental Program Agency). Program FHM muncul karena adanya peningkatan permintaan akan informasi kesehatan hutan karena adanya kekhawatiran bahwa perubahan iklim dapat menyebabkan jenis kerusakan baru yang sebelumnya tidak ditemukan (Wullf et al. 2013). Sumber: fs.usda.gov; epa.gov Program FHM ini bertujuan untuk mengetahui kondisi hutan saat ini, perubahan masa depan dan tren yang mungkin terjadi akibat kegiatan yang telah dilakukan di dalam hutan. Dewasa ini, FHM dapat diterapkan untuk mengukur berbagai kawasan hutan berdasarkan tujuannya.  Dokter hutan mendiagnosis kesehatan hutan? Pada tanggal 4 dan 8 Februari 2024 lalu, Tree Grower Community bersama dengan Bhumi Pasa Hijau telah berkolaborasi dalam kegiatan Forest Health Monitoring di salah satu jalur hijau kota Bogor yaitu Jalan Raya Cifor.  Kedua tim memberikan label identitas kesehatan pada tiap pohon setelah dilakukan identifikasi jenis, kerusakan pohon dan tajuk pohon. Perolehan informasi mengenai intensitas kerusakan pohon di Jalan Raya Cifor selanjutnya akan menentukan hasil diagnosis kesehatan jalur hijau pada kawasan tersebut.

Memperingati Hari Lahan Basah Sedunia 2024: Wetlands and Human Wellbeing

Tanggal 2 Februari kerap kali diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day) pada setiap tahunnya. Tanggal ini memperingati hari ditandatanganinya Konvensi Lahan Basah di Kota Ramsar, Iran pada tanggal 2 Februari 1971. Dilansir melalui laman Wetlands International, peringatan hari yang bersejarah ini kini mengangkat tema “Wetlands and Human Wellbeing” yang memfokuskan adanya hubungan antara lahan basah dan kehidupan manusia. Tema ini menekankan kontribusi dan manfaat lahan basah terhadap pembangunan berkelanjutan sebagai hal yang penting bagi alam dan keberlangsungan hidup manusia. Lahan basah merupakan kawasan wilayah yang daratannya (tanah) tertutup dan/atau jenuh dengan air, baik secara permanen maupun musiman. Berdasarkan Konvensi Ramsar pasal 1 ayat (1), lahan basah meliputi rawa, payau, lahan gambut, dan perairan alami atau buatan; tetap atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir, tawar, payau, atau asin; termasuk wilayah laut yang kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada saat air surut. Ekosistem lahan basah yang mengandung keanekaragaman hayati memiliki peranan yang sangat penting dan memberikan manfaat ekologis, ekonomis serta sosial. Dengan menggunakan lahan basah secara bijaksana dan diversifikasi untuk mata pencaharian masyarakat lokal, lahan basah dapat membantu dalam meningkatkan kesejahteraan manusia. Lahan basah berfungsi sebagai tempat yang subur untuk berbagai jenis tumbuhan dan hewan, sehingga meningkatkan keanekaragaman hayati. Keanekaragaman esensial dalam menyediakan sumber daya alam yang tentunya penting bagi kelangsungan hidup manusia, seperti ketersediaan air bersih dan bahan pangan yang melimpah. Oleh karena itu, menjaga kelestarian lahan basah sangat penting untuk memastikan keberlanjutan kehidupan manusia dan menjaga keseimbangan ekosistem secara keseluruhan. World Wetlands Day: Wetlands & Human Wellbeing