HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA: DEFORESTASI DAN MASA DEPAN BUMI, SEBUAH REFLEKSI
HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA: DEFORESTASI DAN MASA DEPAN BUMI, SEBUAH REFLEKSI
Hari Lingkungan Hidup Sedunia
5 Juni diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1973 oleh United Nations Environment Programme (UNEP). Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2024 mengusung tema Land restoration, desertification and drought resilience dengan slogan “Our land. Our future. We are #GenerationRestoration”. Restorasi lahan merupakan pilar utama dari UN Decade on Ecosystem Restoration (2021-2030), sebuah seruan untuk melindungi dan menghidupkan kembali ekosistem di seluruh dunia yang sangat penting untuk mencapai SDGs.
Our Land, Our Future?
Slogan ini tampaknya tak berarti apapun jika kita menilik permasalahan yang sedang terjadi di daerah timur negeri ini. Hutan adat Awyu dan Moi di Papua telah berubah menjadi perkebunan sawit terbesar di Indonesia melalui Proyek Tanah Merah. Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup kepada PT Indo Asiana Lestari (IAL) untuk melakukan konversi lahan seluas 36.094 hektar di hutan adat suku Awyu. Sementara itu, suku Moi menghadapi PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektar hutan adat suku Moi untuk perkebunan sawit. Masyarakat adat merasa kehilangan tempat tinggal, sumber penghidupan, dan warisan budaya mereka akibat konversi ini.
Aksi Masyarakat Adat
Masyarakat adat Awyu dan Moi menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung pada 27 Mei lalu dengan mengenakan pakaian tradisional dan mengadakan ritual adat serta doa. Mereka menuntut pemerintah untuk menghentikan konversi hutan adat menjadi kebun sawit dan mengembalikan hak mereka. Pejuang lingkungan hidup suku Awyu sebelumnya telah menggugat Pemerintah Provinsi Papua karena memberikan izin kepada PT. IAL. Namun, gugatan tersebut kandas di pengadilan tingkat pertama dan kedua sehingga kasasi di MA menjadi harapan terakhir untuk melindungi hutan adat Papua. Sebetulnya, sudah menjadi komitmen bagi pemerintah untuk melindungi masyarakat hukum adat menggunakan payung hukum dengan seadil-adilnya. Berdasarkan aturan mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat merupakan tugas dan wewenang yang perlu dipenuhi oleh pemerintah. Namun nyatanya, yang terjadi saat ini jauh dari menghormati dan melindungi hak-hak dasar masyarakat hukum adat, khususnya masyarakat adat Awyu dan Moi yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya hutan.
Dampak Konversi Lahan Hutan
Pada dasarnya, prinsip pengelolaan hutan dilakukan dengan memerhatikan keseimbangan aspek ekonomi dan keberlanjutan lingkungan, termasuk di hutan adat. Namun adanya kegiatan konversi lahan melalui pembabatan hutan oleh beberapa perusahaan di hutan adat Papua justru bertentangan dengan prinsip yang ada. Tak hanya berdampak terhadap kehidupan sosial masyarakat adat sekitar, berubahnya fungsi hutan secara langsung berdampak pada kondisi ekologis dunia. Akibat terjadi penurunan lahan hutan, kemampuan hutan dalam menyerap gas rumah kaca akan berkurang sehingga dapat meningkatkan isu perubahan iklim global. Selain itu, dampak lain dari adanya konversi lahan menyebabkan terancamnya keanekaragaman hayati yang ada.
All Eyes on Papua
Penting bagi seluruh kalangan masyarakat untuk sadar betapa seriusnya isu yang terjadi pada saat ini. Hutan adat tak hanya menjadi kepemilikan bagi masyarakat adat, namun tanggung jawab bagi kita semua. Mempertahankan hutan dari keserakahan adalah bentuk kepedulian terhadap lingkungan dan sesama. Oleh karena itu, mari dukung aksi masyarakat adat Papua dengan ikut bersuara dan menandatangani petisi berikut.